Haji dan Umrah (Media Pembelajaran Berbasis Android) klik dan unduh, Operasionalkan dengan HP Android.
salin link berikut: https://drive.google.com/file/d/15CpQ-kjDISBkbTTwE7lUtJFKIXE1fgst/view?usp=sharing untuk mendownload aplikasi pembelajaran.
Haji dan Umrah (Media Pembelajaran Berbasis Android) klik dan unduh, Operasionalkan dengan HP Android.
salin link berikut: https://drive.google.com/file/d/15CpQ-kjDISBkbTTwE7lUtJFKIXE1fgst/view?usp=sharing untuk mendownload aplikasi pembelajaran.
|
Pendahuluan
Masyarakat
Indonesia dibuat tercengang dengan
berita yang menjadi headline
di banyak media massa beberapa bulan terakhir. Setumpuk peristiwa menghebohkan
menjadi perhatian media massa tanah air. Berita kriminal seakan menjadi suguhan
pokok sehari-hari bagi media massa sebagai penyaji dan masyarakat sebagai
pengonsumsi. Pemerkosaan, pembunuhan,
pencurian, hingga tawuran antarpelajar yang kadang harus menelan korban selalu
muncul sebagai bahan pemberitaan. Selain itu, maraknya kasus hamil di luar
nikah, video porno, dan tindak asusila. Beberapa pekan peristiwa JIS juga menyita
perhatian masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Seakan jantung pendidikan
Indonesia berhenti berdetak, lumpuh tak berdaya. Jelas bagaimana dunia
pendidikan kita tercoreng-moreng dengan peristiwa tersebut. Hal ini menjadi
potret buram dunia pendidikan kita, yang seharusnya memberikan rasa aman dan
nyaman bagi siswa, malah sebaliknya.
Belum selesai masalah JIS muncul Emon, pedofil yang telah memakan
ratusan korban. Kemudian siswa SD kelas VI di Jakarta Timur yang tega menganiaya
adik kelas hingga tewas hanya karena masalah sepele. Bahkan pada Senin, 12 Mei
2014 di halaman depan Kedaulatan Rakyat
terpampang dengan jelas “Modus Iming_Iming Mainan : Bocah SD Cabuli Delapan
Temannya”. Astaqfirullohaladzim.
Keadaan ini
membuat miris hati seluruh orang tua atau masyarakat pada umumnya. Perasaan
takut jika anak sampai salah langkah,
salah bergaul, salah sikap. Sebagai sesuatu yang wajar perasaan itu muncul,
mengingat kondisi buruk sedang terjadi di negeri ini. Ada semacam
ketidaknyamanan menjalani kehidupan, ada semacam ancaman yang setiap saat bisa mengancam.. Kemudian muncul setumpuk pertanyaan dalam benak
kita, ada apa dengan moral generasi muda kita? Mengapa sampai terjadi
peritiwa-peristiwa semacam ini? Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua
ini? Bagaimana memperbaiki moral generasi muda? Padahal sebagai aset bangsa,
mereka harus mampu berdiri di barisan terdepan, membawa bangsa menuju sebuah
pencerahan, kemenangan, kesejahteraan, serta kemajuan yang nyata. Tidak bisa
terbayangkan, apa yang terjadi ke depan jika remaja mengalami krisis moral.
Sejatinya
moralitas adalah perbuatan, tingkah laku, dan ucapan seseorang dalam
berinteraksi dengan orang lain. Hal yang jika dilakukan itu bernilai rasa tidak
menyimpang atau sesuai etika atau norma
yang berlaku di suatu masyarakat maka dianggagap sebagai moral yang baik.
Namun, hal itu harus tidak lepas dengan ajaran agama. Semua agama mengusung
kebaikan dan kebenaran yang bertujuan menciptakan suasana yang kondusif dan
agamis, jauh dari pertikaian dan kekerasan. Kata lain moral adalah produk dari
budaya dan bersumber pada ajaran agama (Prasetyo, 2012:18). Setiap wilayah
memiliki budaya masing-masing, setiap budaya memiliki standart moral
sendiri-sendiri yang biasanya telah ada atau hidup secara turun-termurun. Moral
sebagai hal yang baik yang terealisasikan dengan sikap, karakter, dan tingkah
laku yang positif.
Haidar Nashir
(1997:31) mengungkapkan anak-anak di Dunia Ketiga sungguh tidak begitu mengerti
atas perilaku anak-anak di Negara-negara maju, seraya bertanya dengan nada
menggungat : “Anda hidup makmur, terdidik, dan modern, tetapi kenapa anda
saling membunuh?”. “Kami membunuh karena kami makmur, kami membunuh karena kami
terdidik. Kami membununh juga karena kami modern,” tandas anak-anak dari Negara
maju itu dengan sesuka hati. Jawaban tersebut seakan mengisyaratkan adanya
ketidakpahaman atau frustasi atas kenyataan yang mereka hadapi atau lihat dalam
lingkungan yang demikian keras dan penuh benturan. Bahwa kekerasan manusia
modern itulah yang membuat mereka saling membunuh, saling menjatuhkan, saling
menodai, dan saling meniadakan satu sama lain dengan perasaan bersalah. Hilangnya
naluri kemanusiaan dan saling berbagi menyebabkan mereka lebih mementingkal
otot daripada akal dan hati. Perasaaan saling menyayangi dan mengerti tidak ada
lagi. Untuk itu, sangatlah bijak jika permasalahan moral ini dikaji lebih dalam
untuk menemukan sebuah solusi yang tepat sebagai bahan pemikiran sekaligus
pijakan agar kondisi/moral remaja makin diperhatikan dan diselamatkan. Satu
langkah akan dapat menyelamatkan masa depan bangsa.
Penyebab
terjadinya krisis moral remaja
Dalam paparan
berikut, penulis akan menyampaikan beberapa hal yang menjadi penyebab
terjadinya krisis moral di kalangan remaja. Beberapa penyebab tersebut, penulis
gali dari berbagai sumber. Beberapa
sebab terjadinya krisis moral di kalangan remaja adalah sebagai berikut.
1.
Modernisasi kehidupan.
Banyak nestapa
yang ditularkan atau diakibatkan kemodernan kehidupan. Sikap egois dan tidak
menghargai menjadi pemicu terjadinya
tindak kekerasan sehingga menambah lagi sekian bukti moralitas generasi kita
mengalami degradasi. Kenyataan yang tak bisa dielak. Gaya hidup yang terlalu
modis, konsumtif telah menjangkiti mental generasi kita. Ketidaksiapan mental
menghadapi derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan mudahnya akses
jaringan teknologi informasi. Karena kurangnya bekal filter pada diri generasi,
sehingga muncullah berbagai tindak kekerasan sebagai hasil menelan mentah
perkembangan di negeri ini. Mereka kurang bisa memilih mana yang seharusnya dikonsumsi
dan mana yang seharusnya “tidak” dikonsumsi.
2.
Lunturnya budaya leluhur.
Bangsa Indonesia
dikenal bangsa di dunia karena memiliki bepuluh-puluh budaya, adat, dan tradisi
yang unik. Mereka kagum masih adanya sikap tepo
seliro, guyup rukun, ramah tamah
antarsesama, meski asing bagi mereka. Mereka senantiasa menebarkan senyum,
sapa, dan saling salam. Namun, apa yang terjadi pada sekarang ini? Semua seakan
jarang bahkan tidak pernah lagi kita lihat
hal di atas terjadi di sekeliling kita. Mereka cenderung egois dan merasa
menang sendiri sehingga hilanglah rasa menghargai orang lain dan pengendalian
diri. Berawal dari ini kemudian muncul perdebatan, pertengkaran, dan berakhir
dengan kekerasan. Naudzubillahimindzalik.
3.
Disorientasi mental.
Alvin Toffler
melalui Nashir (1997:47) mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan
berjangkitnya penyakit mental dalam struktur kepribadian manusia (generasi
muda) Indonesia yang disebut sebagi disorientasi mental. Penyakit jenis ini
muncul dalam bentuk ketegangan psikologis yang dahsyat dalam menghadapi
problematika hidup. Akibatnya, mereka cenderung mudah kehilangan keseimbangan
menghadapi persoalan. Stres dan depresi juga sebagai akibat dari disorientasi
mental. Dari sini, lahirlah tindakan-tindakan di luar kontrol kesadaran
sehingga terkadang berlaku destruktif
(merusak).
4.
Disharmonisasi sosial.
Keanekaragaman budaya,
bahasa, adat, dan agama, sedikit banyak menyebabkan solidaritas dalam kehidupan
masyarakat Indonesia semakin merenggang, bahkan memudar. Dahulu masih kental
dengan sikap guyup, alamiah, tenggang
rasa, tepo seliro, bersifat langsung. Sekarang, ada kecenderungan bergeser
menjadi individualis, organisasi renggang, berjarak, dan tidak langsung. Hal
ini menyebabkan mudahnya terjadi percikan-percikan kecil karena adanya
pergeseran nilai dan hilangnya rasa solidaritas di antara mereka. Sebagai
contoh adanya tawuran antarpelajar, pertikaian antardesa, antarsuku atau
antaretnis. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi para ulama, praktisi,
maupun cendikiawan. Banyak kalangan berharap marilah hidup rukun dan damai
penuh cinta walau berbeda.
Muhammad Imarah
(1999:24) mengatakan bahwa jaminan keamanan sosial akan menciptakan ketenangan jiwa dengan beban
yang ditanggung bersama untuk menumbuhkan potensi dan kekuatan sehingga menjadi
pangkal kehidupan dan kebaikan. Dengan keamanan sosial peradaban manusia akan
maju, seiring terciptakanya kehidupan yang penuh kebersamaan.
5. Jauhnya
mereka dari agama.
Agama adalah
pegangan utama dalam berkehidupan. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk
menjaga silaturahmi, kedamaian, kebersamaan, dan kebaikan. Allah SWT berfirman,
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku” (QS Adz Dzariyaat :55). Dari ayat ini jelas sudah jika mereka
harus menyembah atau taat pada-Nya. Jika kita dekat, maka Dia pun akan selalu
dekat dengan kita, akan selalu sayang, dan yang jelas kita akan selalu
terhindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Sebaliknya, jika kita jauh dari
ajaran-ajaran-Nya maka Dia pun tidak akan dekat dengan mereka. Jika sampai
terjadi hal ini maka emosi akan sulit terkontrol, cenderung brutal dan semaunya
sendiri akibatnya banyak kesempatan untuk bernbuat jahat dan anarkhis.
6.
Kurangnya komunikasi/hubungan emosional
dari orang tua.
Deasy Andriani
(KR, 12 Mei 2014) mengungkapkan bahwa pengawasan dan pendidikan anak tidak hanya menjadi tanggung jawab dari
sekolah, tapi butuh sikap proaktif dari orang tua. Pemantauan dan kerja sama
antara orang tua dan sekolah memiliki peranan yang sangat penting bagi
perkembangan anak. Jalin komunikasi yang intens dan baik antara orang tua dan
guru. Selama ini, perkembangan teknologi dan pesatnya era globalisasi menjadi
tantangan berat bagi orang tua. Perlu adanya hubungan emosional sehingga
terjalin komunikasi yang baik, terutama antara orang tua dan anak. Kasih sayang
dan perhatian yang lebih dari orang tua akan mampu melembutkan perasaan seorang
anak. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang
cukup, maka mereka akan cenderung melampiaskannya di luar. Mereka akan mencari
atau berbuat sesuatu yang bisa menarik perhatian orang tua. Salah satunya bisa
jadi arahnya ke hal-hal yang negatif, meski tidak sedikit juga yang positif. Namun,
kesempatan untuk mengarah ke hal-hal negatif sangat besar, mengingat emosional
mereka masih bersifat labil sehingga mudah terpengaruh. Biasanya setelah
terjadi hal yang tidak diinginkan, orang tua baru tersadar akan
pentingnya perhatian sekecil apapun.
Menjadi beban
yang tidak ringan bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak hanya sebagai pekerjaan
rumah bagi orang tua dan anak, tetapi juga bahan pemikiran bagi guru, sekolah,
dan pemerintah dalam menentukan setiap kebijakan. Anak bagaikan busur panah dan
kertas putih. Akan dibawa kemana busur itu dan akan dikasih tulisan dan warna
apa pada kertas adalah tanggung jawab orang tua sebagai pendidikan dasar
mereka. Ketika busur itu dilesatkan, orang tua tidak bisa percaya dan berpaling
begitu saja. Harus tetap memantau setiap jalan atau rute yang dilewati busur
itu sehingga sampailah ke sasaran dengan tepat dan gemilang. Begitu pun dengan
orang tua kepada anak sejak mereka dilahirkan. Orang tua harus ektra tepat dan hati-hati
dalam memberikan perlakuan pada setiap langkah dan perkembangannya. Pendekatan
psikologis sangat penting bagi keberhasilan masa depan yang sesuai dengan
harapan.
Demikianlah
beberapa hal yang bisa menjadikan generasi kita bersikap brutal, arogan,
individual, dan anarkhis yang mengarah kepada tindak kriminal. Kiranya dapat
dijadikan bahan perenungan bagi generasi muda kita, para orang tua, dan sekolah
agar bisa bersikap lebih arif dan bijaksana.
Solusi
terhadap krisis moral remaja
Gambaran
atas penyebab terjadinya krisis moral di kalangan remaja dapat dijadikan bahan
perenungan atau pertimbangan untuk menentukan solusi terhadap permasalahan
tersebut. Bersadarkan beberaapa sumber yang telah penulis kaji, dapat
disampaikan beberapa solusi dalam menghadapi kriris moral remaja. Solusi
tersebut adalah sebagai berikut.
1.
Agama menjadi pegangan hidup.
Setiap manusia
memiliki agama dan keyakinan masing-masing. Agama dan keyakinan menjadi
petunjuk setiap langkah manusia. Agama harus menjadi sikap hidup (way of life) tidak hanya sebagai sebuah
ritual/rutinitas. Agama perlu diresapi, dihayati untuk kemudian diamalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Segala kebaikan dan kedamaian akan tercipta jika semua
umat manusia patuh dan taat pada ajaran agama yang dianutnya. Niscaya tidak aka
nada kekerasan, keserakahan, maupun kekejian di dunia ini, jika manusia
menjalankan semua perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
2.
Jadikan mental kuat sebagai filter
Perkembangan
zaman semakin pesat. Globalisasi yang ditandani dengan arus informasi yang
semakin bebas. Dibutuhkan kesiapan mental yang kuat untuk menangkis segala pengaruh
negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan zaman, khususnya remaja sebagai
tonggak penerus bangsa. Mereka harus memiliki filter agar bisa membedakan
antara yang seharusnya dan yang tidak seharusnya.
3.
Jalin komunikasi yang intens dalam
keluarga.
Keluarga menjadi
tempat pertama remaja berkembang. Keluarga ibarat kawah candradimuka bagi anak agar nantinya ketika keluar sudah memiliki
kepribadian dan sikap yang baik. Segala aktivitas berawal dari keluarga. Waktu mereka
lebih banyak mereka habiskan di keluarga. maka, tidaklah nista jika dikatakan
keluarga adalah pencetak pribadi remaja. Komunikasi menjadi modal utama.
Sebagai anggota keluarga, jalin komunikasi menjadi hal yang wajib agar tercipta
suasana berkeluarga yang tenang, tenteram, dan damai.
4.
Menanamkan sikap cinta budaya leluhur.
Transformasi
budaya global memang tidak bisa dibendung, tetapi bukan berarti desakan budaya
asing itu tidak bisa disaring untuk dipilih sesuai dengan nilai-nilai budaya
yang telah ada. Karena itu, diperlukan ketabahan mental dan spiritual
masyarakat agar tidak mudah terbawa arus globalisasi (Sahid, 1997:66).
Setiap daerah
memiliki budaya masing-masing. Budaya yang hidup di suatu daerah mengusung
hal-hal yang mencerminkan daerah tersebut. Tentu saja, cermin kebaikan dan
kearifan. Sebagai contoh, budaya Jawa sangat kental dengan tepo seliro, andhap asor, handarbeni, ngajeni, dan sebagainya.
Budaya di daerah lainnya pun pasti mengajarkan sikap kesopansantunan dan kasih
sayang. Jika nilai-nilai ini diterapkan dalam hati tiap remaja, maka akan
tercipta suasana yang penuh dengan kedamaian.
5.
Sosialisasi dalam bermasyarakat
Selain sebagai
makhluk individu, manusia juga diciptakan sebagai makhluk sosial. Hakikatnya, manusia
hidup tidak bisa lepas dari orang lain. Saling tolong-menolong dan saling
membantu. Berkaitan dengan hidup bermasyarakat, remaja harus bisa menempatkan dirinya
di tengah orang banyak. Akhirnya, dibutuhkan saling menghargai dan menghormati
dengan sesama sehingga tercipta suasana yang jauh dari perselisihan dan
petikaian.
Kesimpulan
Akhirnya, untuk
menghindari terjadinya krisis moral harus melibatkan beberapa pihak. Tidak
hanya remaja, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Harus ada keseimbangan
antara manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Selain itu, penyiapan
mental yang kuat sebagai filter atas semua hal negatif, bangun silaturahmi atau
komunikasi yang intens, dan tentu saja agama menjadi dasar atas semuanya.
Agama hadir
untuk memberi sejuta makna . Agama menjadi penyejuk dan pelindung bagi umat
yang sedang mengalami problematika. Agama menjadi penerang ketika umat dalam
kegelapan. Agama menjadi petunjuk ketika dilanda kegalauan. Agama menjadi
penenang di kala emosi berada di titik tertinggi. Agama menjadi pemersatu bagi
seluruh umat manusia di dunia. Agama menjadi obat di kala hati sedang sakit.
Peganglah ujung cinta-Nya agar senantiasa tercipta suasana rukun dan damai
kehidupan manusia di dunia. Tidak ada lagi perpecahan, pertikaian, kejahatan,
anarkhis, serta pelecehan. Remaja, di tangan kalian masa depan bangsa tertanam.
Jadilah generasi yang terhormat dan
bermartabat sehingga bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang terhormat dan bermanfaat.
DAFTAR
PUSTAKA
Andriani, Deasy.
2014. Perilaku Anak Berubah, Orangtua
Harus Tanggap. Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 11 Januari 2014.
Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Keamanan Sosial. Jakarta :
Gema Insani.
Nashir, Haedar.
1997. Agama & Krisis Kemanusiaan
Modern. Yogyakarta. Pustaka
pelajar Offset.
Prasetyo,
Danang. 2012. Mengurai Krisis Moralitas
Pelajar. Dalam Malajah Candra. Edisi5. Th. XLII. Klaten : PT Saka Mitra
Kompetensi.
Sahid, Nur.
1997. Globalisasi dan Pengaruh Terhadap
Seni Pertunjukan Jawa Tradisional. Dalam Al Qalam. Edisi 29
Sariyani. 2013. Budaya Instan di Kalangan Pelajar. Dalam
Majalah Candra. Edisi 4. Th XLIII. Yogyakarta : CV Mekar.
Sariyani. 2013. Efek dan Bahaya Game Online bagi Anak-Anak.
Dalam Majalah Candra. Edisi 1. Th XLIII. Yogyakarta : CV Mekar.
|