Sabtu, 31 Mei 2014

MENCARI SOLUSI KRISIS MORAL REMAJA

Oleh : Dwi Makarti Amrih Lestari, S.Pd.

Pendahuluan
Masyarakat Indonesia dibuat tercengang dengan  berita yang menjadi headline di banyak media massa beberapa bulan terakhir. Setumpuk peristiwa menghebohkan menjadi perhatian media massa tanah air. Berita kriminal seakan menjadi suguhan pokok sehari-hari bagi media massa sebagai penyaji dan masyarakat sebagai pengonsumsi.  Pemerkosaan, pembunuhan, pencurian, hingga tawuran antarpelajar yang kadang harus menelan korban selalu muncul sebagai bahan pemberitaan. Selain itu, maraknya kasus hamil di luar nikah, video porno, dan tindak asusila. Beberapa pekan peristiwa JIS juga menyita perhatian masyarakat Indonesia, bahkan dunia. Seakan jantung pendidikan Indonesia berhenti berdetak, lumpuh tak berdaya. Jelas bagaimana dunia pendidikan kita tercoreng-moreng dengan peristiwa tersebut. Hal ini menjadi potret buram dunia pendidikan kita, yang seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman bagi siswa, malah sebaliknya.  Belum selesai masalah JIS muncul Emon, pedofil yang telah memakan ratusan korban. Kemudian siswa SD kelas VI di Jakarta Timur yang tega menganiaya adik kelas hingga tewas hanya karena masalah sepele. Bahkan pada Senin, 12 Mei 2014 di halaman depan Kedaulatan Rakyat terpampang dengan jelas “Modus Iming_Iming Mainan : Bocah SD Cabuli Delapan Temannya”. Astaqfirullohaladzim.
Keadaan ini membuat miris hati seluruh orang tua atau masyarakat pada umumnya. Perasaan takut jika anak  sampai salah langkah, salah bergaul, salah sikap. Sebagai sesuatu yang wajar perasaan itu muncul, mengingat kondisi buruk sedang terjadi di negeri ini. Ada semacam ketidaknyamanan menjalani kehidupan, ada semacam ancaman yang setiap saat bisa mengancam.. Kemudian muncul setumpuk pertanyaan dalam benak kita, ada apa dengan moral generasi muda kita? Mengapa sampai terjadi peritiwa-peristiwa semacam ini? Siapa yang harus bertanggung jawab atas semua ini? Bagaimana memperbaiki moral generasi muda? Padahal sebagai aset bangsa, mereka harus mampu berdiri di barisan terdepan, membawa bangsa menuju sebuah pencerahan, kemenangan, kesejahteraan, serta kemajuan yang nyata. Tidak bisa terbayangkan, apa yang terjadi ke depan jika remaja mengalami krisis moral.
Sejatinya moralitas adalah perbuatan, tingkah laku, dan ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan orang lain. Hal yang jika dilakukan itu bernilai rasa tidak menyimpang atau sesuai  etika atau norma yang berlaku di suatu masyarakat maka dianggagap sebagai moral yang baik. Namun, hal itu harus tidak lepas dengan ajaran agama. Semua agama mengusung kebaikan dan kebenaran yang bertujuan menciptakan suasana yang kondusif dan agamis, jauh dari pertikaian dan kekerasan. Kata lain moral adalah produk dari budaya dan bersumber pada ajaran agama (Prasetyo, 2012:18). Setiap wilayah memiliki budaya masing-masing, setiap budaya memiliki standart moral sendiri-sendiri yang biasanya telah ada atau hidup secara turun-termurun. Moral sebagai hal yang baik yang terealisasikan dengan sikap, karakter, dan tingkah laku yang positif.
Haidar Nashir (1997:31) mengungkapkan anak-anak di Dunia Ketiga sungguh tidak begitu mengerti atas perilaku anak-anak di Negara-negara maju, seraya bertanya dengan nada menggungat : “Anda hidup makmur, terdidik, dan modern, tetapi kenapa anda saling membunuh?”. “Kami membunuh karena kami makmur, kami membunuh karena kami terdidik. Kami membununh juga karena kami modern,” tandas anak-anak dari Negara maju itu dengan sesuka hati. Jawaban tersebut seakan mengisyaratkan adanya ketidakpahaman atau frustasi atas kenyataan yang mereka hadapi atau lihat dalam lingkungan yang demikian keras dan penuh benturan. Bahwa kekerasan manusia modern itulah yang membuat mereka saling membunuh, saling menjatuhkan, saling menodai, dan saling meniadakan satu sama lain dengan perasaan bersalah. Hilangnya naluri kemanusiaan dan saling berbagi menyebabkan mereka lebih mementingkal otot daripada akal dan hati. Perasaaan saling menyayangi dan mengerti tidak ada lagi. Untuk itu, sangatlah bijak jika permasalahan moral ini dikaji lebih dalam untuk menemukan sebuah solusi yang tepat sebagai bahan pemikiran sekaligus pijakan agar kondisi/moral remaja makin diperhatikan dan diselamatkan. Satu langkah akan dapat menyelamatkan masa depan bangsa.
Penyebab terjadinya krisis moral remaja
Dalam paparan berikut, penulis akan menyampaikan beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya krisis moral di kalangan remaja. Beberapa penyebab tersebut, penulis gali dari berbagai sumber. Beberapa sebab terjadinya krisis moral di kalangan remaja adalah sebagai berikut.
1.    Modernisasi kehidupan.
Banyak nestapa yang ditularkan atau diakibatkan kemodernan kehidupan. Sikap egois dan tidak menghargai  menjadi pemicu terjadinya tindak kekerasan sehingga menambah lagi sekian bukti moralitas generasi kita mengalami degradasi. Kenyataan yang tak bisa dielak. Gaya hidup yang terlalu modis, konsumtif telah menjangkiti mental generasi kita. Ketidaksiapan mental menghadapi derasnya arus globalisasi yang ditandai dengan mudahnya akses jaringan teknologi informasi. Karena kurangnya bekal filter pada diri generasi, sehingga muncullah berbagai tindak kekerasan sebagai hasil menelan mentah perkembangan di negeri ini. Mereka kurang bisa memilih mana yang seharusnya dikonsumsi dan mana yang seharusnya “tidak” dikonsumsi.

2.        Lunturnya budaya leluhur.
Bangsa Indonesia dikenal bangsa di dunia karena memiliki bepuluh-puluh budaya, adat, dan tradisi yang unik. Mereka kagum masih adanya sikap tepo seliro, guyup rukun, ramah tamah antarsesama, meski asing bagi mereka. Mereka senantiasa menebarkan senyum, sapa, dan saling salam. Namun, apa yang terjadi pada sekarang ini? Semua seakan jarang bahkan tidak pernah lagi  kita lihat hal di atas terjadi di sekeliling kita. Mereka cenderung egois dan merasa menang sendiri sehingga hilanglah rasa menghargai orang lain dan pengendalian diri. Berawal dari ini kemudian muncul perdebatan, pertengkaran, dan berakhir dengan kekerasan. Naudzubillahimindzalik.
3.        Disorientasi mental.
Alvin Toffler melalui Nashir (1997:47) mengungkapkan bahwa terdapat kecenderungan berjangkitnya penyakit mental dalam struktur kepribadian manusia (generasi muda) Indonesia yang disebut sebagi disorientasi mental. Penyakit jenis ini muncul dalam bentuk ketegangan psikologis yang dahsyat dalam menghadapi problematika hidup. Akibatnya, mereka cenderung mudah kehilangan keseimbangan menghadapi persoalan. Stres dan depresi juga sebagai akibat dari disorientasi mental. Dari sini, lahirlah tindakan-tindakan di luar kontrol kesadaran sehingga  terkadang berlaku destruktif (merusak).
4.        Disharmonisasi sosial.
Keanekaragaman budaya, bahasa, adat, dan agama, sedikit banyak menyebabkan solidaritas dalam kehidupan masyarakat Indonesia semakin merenggang, bahkan memudar. Dahulu masih kental dengan sikap guyup, alamiah, tenggang rasa, tepo seliro, bersifat langsung. Sekarang, ada kecenderungan bergeser menjadi individualis, organisasi renggang, berjarak, dan tidak langsung. Hal ini menyebabkan mudahnya terjadi percikan-percikan kecil karena adanya pergeseran nilai dan hilangnya rasa solidaritas di antara mereka. Sebagai contoh adanya tawuran antarpelajar, pertikaian antardesa, antarsuku atau antaretnis. Hal ini menjadi keprihatinan tersendiri bagi para ulama, praktisi, maupun cendikiawan. Banyak kalangan berharap marilah hidup rukun dan damai penuh cinta  walau berbeda.
Muhammad Imarah (1999:24) mengatakan bahwa jaminan keamanan sosial  akan menciptakan ketenangan jiwa dengan beban yang ditanggung bersama untuk menumbuhkan potensi dan kekuatan sehingga menjadi pangkal kehidupan dan kebaikan. Dengan keamanan sosial peradaban manusia akan maju, seiring terciptakanya kehidupan yang penuh kebersamaan.

5.    Jauhnya mereka dari agama.
Agama adalah pegangan utama dalam berkehidupan. Setiap agama mengajarkan umatnya untuk menjaga silaturahmi, kedamaian, kebersamaan, dan kebaikan. Allah SWT berfirman, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (QS Adz Dzariyaat :55). Dari ayat ini jelas sudah jika mereka harus menyembah atau taat pada-Nya. Jika kita dekat, maka Dia pun akan selalu dekat dengan kita, akan selalu sayang, dan yang jelas kita akan selalu terhindar dari hal-hal yang dilarang-Nya. Sebaliknya, jika kita jauh dari ajaran-ajaran-Nya maka Dia pun tidak akan dekat dengan mereka. Jika sampai terjadi hal ini maka emosi akan sulit terkontrol, cenderung brutal dan semaunya sendiri akibatnya banyak kesempatan untuk bernbuat jahat dan anarkhis.
6.        Kurangnya komunikasi/hubungan emosional dari orang tua.
Deasy Andriani (KR, 12 Mei 2014) mengungkapkan bahwa pengawasan dan pendidikan  anak tidak hanya menjadi tanggung jawab dari sekolah, tapi butuh sikap proaktif dari orang tua. Pemantauan dan kerja sama antara orang tua dan sekolah memiliki peranan yang sangat penting bagi perkembangan anak. Jalin komunikasi yang intens dan baik antara orang tua dan guru. Selama ini, perkembangan teknologi dan pesatnya era globalisasi menjadi tantangan berat bagi orang tua. Perlu adanya hubungan emosional sehingga terjalin komunikasi yang baik, terutama antara orang tua dan anak. Kasih sayang dan perhatian yang lebih dari orang tua akan mampu melembutkan perasaan seorang anak. Sebaliknya, jika mereka tidak mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang cukup, maka mereka akan cenderung melampiaskannya di luar. Mereka akan mencari atau berbuat sesuatu yang bisa menarik perhatian orang tua. Salah satunya bisa jadi arahnya ke hal-hal yang negatif, meski tidak sedikit juga yang positif. Namun, kesempatan untuk mengarah ke hal-hal negatif sangat besar, mengingat emosional mereka masih bersifat labil sehingga mudah terpengaruh. Biasanya setelah terjadi hal yang tidak diinginkan, orang tua baru  tersadar akan  pentingnya perhatian sekecil apapun.
Menjadi beban yang tidak ringan bagi seluruh elemen masyarakat. Tidak hanya sebagai pekerjaan rumah bagi orang tua dan anak, tetapi juga bahan pemikiran bagi guru, sekolah, dan pemerintah dalam menentukan setiap kebijakan. Anak bagaikan busur panah dan kertas putih. Akan dibawa kemana busur itu dan akan dikasih tulisan dan warna apa pada kertas adalah tanggung jawab orang tua sebagai pendidikan dasar mereka. Ketika busur itu dilesatkan, orang tua tidak bisa percaya dan berpaling begitu saja. Harus tetap memantau setiap jalan atau rute yang dilewati busur itu sehingga sampailah ke sasaran dengan tepat dan gemilang. Begitu pun dengan orang tua kepada anak sejak mereka dilahirkan.  Orang tua harus ektra tepat dan hati-hati dalam memberikan perlakuan pada setiap langkah dan perkembangannya. Pendekatan psikologis sangat penting bagi keberhasilan masa depan yang sesuai dengan harapan.
Demikianlah beberapa hal yang bisa menjadikan generasi kita bersikap brutal, arogan, individual, dan anarkhis yang mengarah kepada tindak kriminal. Kiranya dapat dijadikan bahan perenungan bagi generasi muda kita, para orang tua, dan sekolah agar bisa bersikap lebih arif dan bijaksana.
Solusi terhadap krisis moral remaja
   Gambaran atas penyebab terjadinya krisis moral di kalangan remaja dapat dijadikan bahan perenungan atau pertimbangan untuk menentukan solusi terhadap permasalahan tersebut. Bersadarkan beberaapa sumber yang telah penulis kaji, dapat disampaikan beberapa solusi dalam menghadapi kriris moral remaja. Solusi tersebut adalah sebagai berikut.
1.        Agama menjadi pegangan hidup.
Setiap manusia memiliki agama dan keyakinan masing-masing. Agama dan keyakinan menjadi petunjuk setiap langkah manusia. Agama harus menjadi sikap hidup (way of life) tidak hanya sebagai sebuah ritual/rutinitas. Agama perlu diresapi, dihayati untuk kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Segala kebaikan dan kedamaian akan tercipta jika semua umat manusia patuh dan taat pada ajaran agama yang dianutnya. Niscaya tidak aka nada kekerasan, keserakahan, maupun kekejian di dunia ini, jika manusia menjalankan semua perintah-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya.
2.        Jadikan mental kuat sebagai filter
Perkembangan zaman semakin pesat. Globalisasi yang ditandani dengan arus informasi yang semakin bebas. Dibutuhkan kesiapan mental yang kuat untuk menangkis segala pengaruh negatif yang ditimbulkan oleh perkembangan zaman, khususnya remaja sebagai tonggak penerus bangsa. Mereka harus memiliki filter agar bisa membedakan antara yang seharusnya dan yang tidak seharusnya.
3.        Jalin komunikasi yang intens dalam keluarga.
Keluarga menjadi tempat pertama remaja berkembang. Keluarga ibarat kawah candradimuka bagi anak agar nantinya ketika keluar sudah memiliki kepribadian dan sikap yang baik. Segala aktivitas berawal dari keluarga. Waktu mereka lebih banyak mereka habiskan di keluarga. maka, tidaklah nista jika dikatakan keluarga adalah pencetak pribadi remaja. Komunikasi menjadi modal utama. Sebagai anggota keluarga, jalin komunikasi menjadi hal yang wajib agar tercipta suasana berkeluarga yang tenang, tenteram, dan damai.
4.        Menanamkan sikap cinta budaya leluhur.
Transformasi budaya global memang tidak bisa dibendung, tetapi bukan berarti desakan budaya asing itu tidak bisa disaring untuk dipilih sesuai dengan nilai-nilai budaya yang telah ada. Karena itu, diperlukan ketabahan mental dan spiritual masyarakat agar tidak mudah terbawa arus globalisasi (Sahid, 1997:66).
Setiap daerah memiliki budaya masing-masing. Budaya yang hidup di suatu daerah mengusung hal-hal yang mencerminkan daerah tersebut. Tentu saja, cermin kebaikan dan kearifan. Sebagai contoh, budaya Jawa sangat kental dengan tepo seliro, andhap asor, handarbeni, ngajeni, dan sebagainya. Budaya di daerah lainnya pun pasti mengajarkan sikap kesopansantunan dan kasih sayang. Jika nilai-nilai ini diterapkan dalam hati tiap remaja, maka akan tercipta suasana yang penuh dengan kedamaian.
5.        Sosialisasi dalam bermasyarakat
Selain sebagai makhluk individu, manusia juga diciptakan sebagai makhluk sosial. Hakikatnya, manusia hidup tidak bisa lepas dari orang lain. Saling tolong-menolong dan saling membantu. Berkaitan dengan hidup bermasyarakat, remaja harus bisa menempatkan dirinya di tengah orang banyak. Akhirnya, dibutuhkan saling menghargai dan menghormati dengan sesama sehingga tercipta suasana yang jauh dari perselisihan dan petikaian.
Kesimpulan
Akhirnya, untuk menghindari terjadinya krisis moral harus melibatkan beberapa pihak. Tidak hanya remaja, tetapi juga orang tua dan masyarakat. Harus ada keseimbangan antara manusia sebagai makhluk individu dan sosial. Selain itu, penyiapan mental yang kuat sebagai filter atas semua hal negatif, bangun silaturahmi atau komunikasi yang intens, dan tentu saja agama menjadi dasar atas semuanya.
Agama hadir untuk memberi sejuta makna . Agama menjadi penyejuk dan pelindung bagi umat yang sedang mengalami problematika. Agama menjadi penerang ketika umat dalam kegelapan. Agama menjadi petunjuk ketika dilanda kegalauan. Agama menjadi penenang di kala emosi berada di titik tertinggi. Agama menjadi pemersatu bagi seluruh umat manusia di dunia. Agama menjadi obat di kala hati sedang sakit. Peganglah ujung cinta-Nya agar senantiasa tercipta suasana rukun dan damai kehidupan manusia di dunia. Tidak ada lagi perpecahan, pertikaian, kejahatan, anarkhis, serta pelecehan. Remaja, di tangan kalian masa depan bangsa tertanam. Jadilah generasi  yang terhormat dan bermartabat sehingga bangsa Indonesia  menjadi bangsa yang terhormat dan bermanfaat.

DAFTAR PUSTAKA
Andriani, Deasy. 2014. Perilaku Anak Berubah, Orangtua Harus Tanggap. Koran Kedaulatan Rakyat Edisi 11 Januari 2014.
Imarah, Muhammad. 1999. Islam dan Keamanan Sosial. Jakarta : Gema Insani.
Nashir, Haedar. 1997. Agama & Krisis Kemanusiaan Modern. Yogyakarta.    Pustaka pelajar Offset.
Prasetyo, Danang. 2012. Mengurai Krisis Moralitas Pelajar. Dalam Malajah Candra. Edisi5. Th. XLII. Klaten : PT Saka Mitra Kompetensi.
Sahid, Nur. 1997. Globalisasi dan Pengaruh Terhadap Seni Pertunjukan Jawa Tradisional. Dalam Al Qalam. Edisi 29
Sariyani. 2013. Budaya Instan di Kalangan Pelajar. Dalam Majalah Candra. Edisi 4. Th XLIII. Yogyakarta : CV Mekar.
Sariyani. 2013. Efek dan Bahaya Game Online bagi Anak-Anak. Dalam Majalah Candra. Edisi 1. Th XLIII. Yogyakarta : CV Mekar.








MENCIPTAKAN KELAS NYAMAN DAN KREATIF


Penulis : Sidig Triyono, S.Pd.I


A.      Pendahuluan
Suasana kelas yang tenang bukan menjadi jaminanbahwa siswa mampu belajar dengan optimal. Bisa jadi kelas yang gaduh juga menjadikan siswa sangat sulit untuk belajar. Seakan persoalan sederhana hanya mengenai suasa di kelas saja, namun berawal dari kelas sebagai media pembelajaran, maka akan tercapai tujuan dari pembelajaran. Penataan kelas saangat penting dalam keberhasilan pembelajaran.
Kadangkala siswa bisa tenang, namun tenang karena terpaksa atau dipaksa tenang oleh guru. Siswa yang mengalami keterpaksanaan harus tenang secara tidak langsung mengalami keterbelengguan. Di kelas berkumpul beraneka karakter dan kepribadian, guru sebagai pembimbing dituntut untuk mampu menata kondisi kelas dengan sebaik-baiknya.
Kepentingan-kepentingan dalam kelas beraneka ragam sehingga guru diharapkan mampu menentukan bagaimana kelas harus terkondisi tanpa mengesampingkan nilai-nilai edukasi dan harus mampu memahami karakter kepribadian siswa. Penanaman belajar yang diwujudkan oleh guru dimulai dari kelas. Keteraturan dan pembiasaan yang dilakukan akan tertanam dalam diri peserta didik, namun keteraturan dan pembiasaan saat belajar di kelas harus benar-benar memperhatikan kebutuhan psikologis dan pengembangan kreatifitas siswa dalam belajar. Untuk itu diperlukan pembentukan kelas yang memiliki suasana nyaman untuk belajar serta mengembangkan nilai-nilai kreatifitas bagi diri siswa.